
Hong pulun basuki langgeng. Semoga kita dilindungi yang maha kuasa, demikian salam warga Suku Tengger kepada kerabat mereka. Salam itu pula yang membuka ritual Mayu Banyu dan Mayu Desa. Balasan salam itu simpel, langgeng basuki. Yang berarti mudah-mudahan.
Puja-puji kepada Tuhan semesta alam itu dilontarkan dalam rangkaian sesajen yang berpusat di Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Sesajen menyatu dengan bakaran dupa dan kemenyan. Bagi masyarakat Tengger, Gunung Bromo ibarat bangunan suci yang harus ditunggui sepanjang masa. Ia dihormati melalui serangkaian sesajen, tanda syukur dan pemujaan kepada Tuhan serta leluhur mereka.
Suku Tengger yang bersahaja, mennjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kejujuran, meski terbuka terhadap banyak hal, tapi tertutup dari pengaruh apa pun demi melindungi tradisi yang diturunkan nenek moyang mereka. Karena itu suku tersebut memeliki keterikatan sangat kuat dengan Gunung Bromo.
Hal itu bentuk menyatu dengan alam, leluhur dan Yang Maha Kuasa. Setiap perubahan alam di kawasan setempat dijawab dengan serangkaian doa dan sesajen. Warga beranggapan dengan doa dan sesaji sehingga keyakinan menambah rasa percaya diri bahwa Tuhan pasti melindungi mereka.
Bromo merupakan misteri bagi warga setempat maupun masyarakat di luar Tengger. Secara kasatmata, gunung menjulang tinggi itu dikelilingi lautan pasir Tengger yang merupakan kaldera hasil letusan Gunung Tengger purba. Di kawasan itu terdapat Gunung Bromo (2.392 mdpl), Gunung Batok (2.440 mdpl), Gunung Kursi (2.581 mdpl) dan Gunung Watangan (2.614 mdpl). Wilayah lengkap dengan tempat sakral yakni kutugan (pintu masuk), watu bulang, watu wungkuk, pura luhur poten dan widodaren.
Bagi masyarakat Tengger, Gunung Bromo diyakini sebagai tempat tetirah leluhur mereka. Istilahnya tempat berkumpul dan penantian sementara untuk semakin mendekatkan kepada Tuhan. Gunung Bromo merupakan tempat penyucian atma (roh leluhur) untuk selanjutnya roh menuju Gunung Semeru agar bisa menyatu dengan Tuhan.
Menurut Ketua Adat Tengger Desa Ngadas, Malang, Ngatono, bukan perkara mudah melupakan leluhur yang menjadi dasar hidup warga Tengger. Masyarakat yakin saat mereka lupa, serta-merta suku itu kehilangan akar budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Itulah bencana sebenarnya bagi masyarakat tengger.
Cara pandang warga Tengger dalam memahami alam adalah dengan berdoa, menjaga tradisi dan ajaran nenek moyang. Kearifan lokal dikembangkan di era kekinian dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, tetapi tanpa menghilangkan akar budaya dan tradisi.
Keharmonisan alam itu terus dijaga, sumber mata air dirawat. Tata cara menebang pohon pun diatur guna mencegah perbuatan sembrono. Sumber air, tanah dan api disakralkan dengan diberikan sesajen. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menjunjung tinggi kejujuran, dilarang keras melanggar karma.
Suku Tengger tersebar di 41 desa dalam wilayah empat kabupaten, yakni Probolinggo, Malang, Lumajang dan Pasuruan. Mereka patuh pada 47 dukun yang dipilih secara turun-temurun. Pertanian diyakini sebagai perwujudan ibu bumi. Itu sebabnya warga Desa Wisata Adat Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, menjaga tradisi leluhur dengan mempertahankan kearifan lokal tersebut.
Masyarakat membuat aturan ketat larangan menjual tanah guna mempertahankan eksistensi pertanian sekaligus menjaga ibu bumi menjadi yang utama. Tradisi itu pula menyelamatkan masyarakat desa yang berprofesi petani dari kehilangan aset, yaitu tanah.
Larangan menjual tanah kepada warga luar desa itu disepakati melibatkan ketua adat Tengger dan para dukun. Mereka sepakat mempertahankan tradisi bertani di lereng Gunung Bromo dan Tengger Purba sembari menguatkan ritual dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal dengan mempertahankan akses kepemilikan atas sumber daya tanah dan ladang agar tidak berpindah kepada pihak lain itu bermakna spiritual, menjaga tradisi, budaya dan sosial bagi kelangsungan hidup mereka.