
KENTANG MADISU AP4
Rudi Madiyanto tak menyerah meski petani kentang sedang terhimpit kondisi susah selama wabah korona baru covid-19. Ia melanjutkan penelitian kentang untuk memenuhi kebutuhan benih bagi petani.
Semula Rudi meneliti Kentang Madisu AP4. Beberapa tahun silam, benih kentang itu sudah pelepasan varietas kendati prosesnya cukup rumit.
“Birokrasi pemerintah berbelit,” ungkap Rudi membuka pembicaraan.
Kondisi itu, katanya, membuat petani enggan berinovasi. Yang dilakukan petani ialah tanam, produksi dan panen. Sedangkan hasilnya untuk mengamankan keluarga masing-masing. Kebanyakan petani tak ingin berpikir rumit.
Sebab, mencoba maju secara legal kerap menemui banyak rintangan. Pemerintah pun terkesan membiarkan hal itu terus terjadi. Padahal, di negeri yang subur ini, banyak petani yang kreatif dan inovatif.
“Susah, tidak mudah bagi petani,” tegasnya
Di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, kampung halaman Rudi, varietas kentang Madisu AP4 kurang populer di tingkat petani. Akan tetapi, petani di Medan sangat antusias menggunakan varietas tersebut.
Kondisi itu tak lantas membuat Rudi ciut nyali. Ia terus meneliti dan berinovasi. Ada dukungan atau tidak, ia tak peduli. Baginya, yang penting pertanian nasional maju pesat, petani bisa sejahtera di negeri sendiri.
Granola Arjuno
Rudi tetap bersemangat. Penelitian terus dilanjutkan. Sembari bertani, ia berkali-kali mencoba menyilangkan benih. Sesekali menyilangkan kentang lokal dengan kentang dari Jerman. Hasilnya, muncul kentang berdaun tembakau berbuah kentang. Selama proses penelitian, lanjutnya, tidak mudah alias membutuhkan waktu cukup lama. Tapi, ia tak begitu saja menyerah.
“Proses penelitian harus mengambil sel untuk dihidupkan kembali. Selanjutnya bibit ditanam,” katanya.
Terbaru, ia meluncurkan Granola Arjuno. Benih kentang itu cikal-bakalnya dari Madisu AP4 yang berbunga putih. Menurut Rudi, petani kurang tertarik dengan kentang berbunga putih. Para petani di Desa Sumberbrantas, Kota Batu, apa pun varietas kentang, umbinya besar atau kecil, yang penting bunganya ungu. Demikianlah karakteristik petani sulit ditebak dalam hal penggunaan benih.
“Fanatisme petani tak bisa dilawan. Petani fanatik cenderung menyukai bunga ungu, bukan hasil umbi,” imbuhnya.
Hal itulah yang memotivasi Rudi melanjutkan penelitian secara mandiri. Ia menyilangkan benih kentang Australia dengan benih lokal sampai jadi varietas kentang Granola Arjuno. Penelitian selama 2 tahun mulai crossing dan seleksi. Selama proses itu, ia menyilangkan varietas granola kembang ungu dan granola lembang. Dari proses persilangan 12 calon benih ketemulah varietas baru lokal tersebut.
“Kelebihannya menang di batang dan daun lebih kokoh,” ujarnya.
Bahkan, calon varietas baru ini memiliki keunggulan berumbi bagus. Satu bibit bisa tumbuh 7 umbi sampai 8 umbi. Satu tanaman bisa menghasilkan umbi sekitar 1 kilogram. Beda dengan Madisu AP4 hanya ada 4 umbi besar dalam satu pohon.
Ia membuat demplot untuk melihat pertumbuhan dan produktivitas. Setelah melihat langsung hasilnya, petani cukup antusias dan menyambut hadirnya varietas baru Granola AP4.
“Sudah banyak permintaan. Petani di Sumberbrantas, Kota Batu dan petani di Dieng, Jawa Tengah, sangat tertarik,” tandasnya.
Kini, perbanyakan benih Granola Arjuno sudah merambah daerah Beras Tagi, Kerinci, Banjarnegera. Meski sudah banyak ditanam petani, Rudi belum berpikir mendaftarkan varietas itu ke pemerintah. Pertimbangannya selain pajak dinilai tinggi mencapai Rp2 juta per tahun, birokrasi juga rumit. Menurutnya yang penting varietas itu diterima oleh petani.
Kentang Ungu

Akhir-akhir ini Rudi sibuk beraktivitas di lahan kentang miliknya yang berada di lereng Gunung Arjuno. Ia sedang meneliti kentang berumbi ungu karena bernilai ekonomi tinggi. Kentang jenis itu sangat potensial dikembangkan. Secara bisnis, katanya, menguntungkan mengingat pengembangannya bisa untuk keripik kentang biru.
“Ada tiga varian, sampai mengerucut berumbi ungu dan hitam.”
Selama proses penelitian, ia sempat menemukan kentang berdaging putih, tapi dalamnya ungu. Sayangnya, bakal benih itu akhirnya hilang. Penelitian yang ia lakoni sudah berjalan selama 2,5 tahun. Bakal benih kentang ungu dan kentang hitam tersebut indukannya dari Belanda dan kentang lokal. Kelebihannya selain kaya antosianin juga menarik untuk keripik kentang.
“Indonesia itu kaya varietas, kentang ungu sudah ada, tapi belum dikembangkan secara serius.”
Rudi mengaku memiliki 3 ribu plasma nutfah kentang. Benih sebanyak itu dihasilkan dari sejumlah persilangan. Satu kali persilangan bisa menghasilkan 400 jenis kentang. Saking banyaknya plasma nutfah, ia memilih menyimpan di alam.
Ada tanaman tomat berumbi kentang. Varietas seperti itu sama seperti di Peru berdaun mirip kenikir. Selain itu, ia menyimpan benih kentang hitam dari Ranupani, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
“Saya kembalikan ke alam, plasma nutfah itu ada di hutan di Gunung Arjuno. Suatu saat dibutuhkan bisa kita ambil lagi.”
Menurut Rudi, masa depan pertanian kentang masih terbentang dan menguntungkan. Kuncinya adalah negara hadir di tengah-tengah petani. Masyarakat harus dilatih bertani sampai pemasaran. Selanjutnya, pemerintah serius memutus rantai pasok impor.
Memang, memutus impor tidak mudah. Sebab, kartel menguasai semua sektor dan sudah berlangsung sangat lama. Sesulit apa pun itu, tetap harus dilakukan, segera. Terbukti, pertanian paling tangguh selama pandemi covid-19.
Sektor pertanian paling kuat, dan pertumbuhannya positif. Semua pertanian itu, lanjutnya, ada di desa. Sudah saatnya pemerintah lebih serius mengembangkan pertanian dan perdesaan.