
Para petani bunga hias bisa sedikit lega. Setelah bunga potong ambruk lantaran larangan menggelar resepsi pernikahan selama pandemi virus korona baru (covid-19), kini petani melirik ke potensi tanaman polybag.
Sebelum wabah virus korona, potensi tanaman di polybag nyaris tak digubris. Petani asyik menanam bunga krisan dan bunga mawar potong. Sebab, hasilnya saat itu nyata lebih menguntungkan. Investasi ratusan juta rupiah untuk budi daya bunga krisan seperti tak terasa karena diinginkan oleh pasar, modal pun cepat kembali.
Saat pandemi melanda, petani bunga krisan ambruk. Pasar menghentikan permintaan. Petani gulung tikar, mereka rugi besar.
“Rugi banyak. Tapi mau apa lagi, beginilah kondisinya yang harus diterima,” tegas Sucipto, petani bunga krisan di Pasuruan.

Tidak hanya petani bunga krisan yang rugi jutaan rupiah. Petani bunga mawar potong pun bangkrut. Petani di Kota Batu, sampai membakar mawar yang sudah berkembang. Sebagian bunga-bunga itu dibiarkan layu di pohon. Akhirnya, bunga beraroma wangi itu berakhir di tumpukan sampah, dibakar menjadi abu.
Sebelum pandemi, petani bunga mawar panen dengan harga Rp2 ribu sampai Rp3 ribu per potong. Kini, wangi mawar tergerus pandemi, durinya melukai petani.
Demikianlah nasib petani bunga mawar. Sudah sejak dulu wangi mawar semerbak hanya dinikmati warga di kota. Sedangkan durinya membekas di desa. Pasalnya, petani tak merasakan untung berlipat kendati panen raya.
Setangkai bunga terkadang dihargai Rp1.000 saat sebelum pandemi. Sampai di kota, harga itu melonjak Rp5 ribu per tangkai. Kondisi kian memprihatinkan masa pandemi. Petani bisa panen, tapi tak ada pembeli.
“Tidak ada permintaan,” tegas Bader, petani di sentra bunga Jalan Metro, Kota Batu, Jawa Timur.
Bader tak begitu saja menyerah. Ia mulai melihat peluang lain mawar. Sebab, musim bunga sedang tumbuh. Tren konsumen, lanjutnya, berburu tanaman hias. Polybag yang sebelumnya dibiarkan menumpuk, akhirnya ditanami benih tanaman mawar. Pedagang pun mulai berdatangan. Satu polybag mawar dihargai Rp3 ribu.

Saban hari, Bader sibuk di lahan miliknya. Ia memperbanyak pembenihan, setek, dan memasukkan sekam ke polybag. Tanaman bunga mawar berbagai warna ia kumpulkan dan dipisahkan sesuai warnanya. Ada mawar hitam, mawar merah, mawar batik, mawar kuning, pink dan putih. Jenis mawar itu, kata Bader, tergantung permintaan pasar.
Bader mengaku bisa menyambung benih untuk menghasilkan mawar yang diinginkan konsumen kendati proses setek bukan perkara mudah. Sebab, butuh waktu 5 bulan sampai proses tanam di polybag. Kendati hanya dihargai Rp2 ribu-Rp3 ribu per polybag, ia mengaku cukup terbantu dari hasil bisnis tersebut.
“Mawar warna apa saja bisa kami layani,” tuturnya.
Selama pandemi ini ia menjual rata-rata 2 ribu polybag per pekan atau sesuai permintaan. Di lahan seluas 60 meter persegi miliknya, setiap 5 bulan sekali bisa menghasilkan Rp100 juta.
“Pedagang mengirim bunga mawar dalam polybag itu ke berbagai daerah di Jawa, Sumatra, Kalimantan sampai Papua,” tegasnya.
Menurut Bader, pandemi telah menggerus usaha pertanian. Kendati demikian, petani berusaha bangkit dan tetap menanam. Sebab, pekerjaan satu-satunya warga setempat untuk bisa bertahan hidup hanya bertani.