
Tanaman hias diburu konsumen setelah sempat longsor selama masa pandemi. Tren melonjak drastis. Kini, tanaman hias hits kembali meski belum pada fase booming. Bunga dan batu sebagai pengusir kebosanan menjadi hiburan sesaat bergantian menyergap pasar.
Beberapa tahun silam, batu akik sempat booming. Tren itu tak terbendung. Pedagang ketiban rezeki dari sebelumnya sepi pembeli. Penjual bahkan meluber memenuhi trotoar. Warga tak puas akhirnya berburu batu sampai mencongkel bukit dan gunung.
Diskusi seputar batu “bertuah” pun marak di kedai-kedai kopi. Di perkantoran, orang saling pamer cincin batu “ajaib”. Tren meningkat pada 2015, bertahan sekitar setahun. Lalu popularitas akik ambles. Masyarakat mulai jenuh, perlahan tapi pasti melupakan. Batu akik pun diobral, akan tetapi konsumen emoh membeli.
Selanjutnya bunga yang pernah hits, kini menemukan pasarnya lagi. Tanaman hias jadi sorotan publik. Tren melonjak tajam selama wabah korona baru (covid-19).

Ingatkah Anda dengan tanaman gelombang cinta?. Dulu, satu pot bisa seharga miliaran rupiah. Ada pula yang ditukar rumah dan mobil. Tanaman itu menggeser popularitas berlian dan emas. Setelah animo mereda, tanaman itu tak dilirik sama sekali. Kala populer, gelombang cinta merajai pasar bunga. Tahun 2007, Anthurium dibanderol Rp250 juta. Fenomena itu membuat pasar bunga seketika heboh.
Sejalan dengan tren bunga yang mulai naik daun, Tulip menemukan pasarnya. Bunga dari Belanda itu terseret sampai dihargai fantastis. Sri Rezeki atau Aglaonema pun dicari sebagai tanaman pendatang cuan.
Tanaman berdaun hijau segar itu diminati konsumen karena cerita tentang tuah, mitos dan legenda yang menyertai sebagai sang penarik rezeki. Sri rezeki yang eksotis berdaun merah paling diburu. Bagi yang menanam konon bisa hoki. Itulah daya tariknya. Anda percaya, silahkan membuktikan sendiri.
Orang sekarang juga memburu Sansaveira. Tanaman yang tersohor dengan nama Lidah Mertua tersebut tak luput dari mata pembeli. Tanaman hias itu hits. Penggemarnya bukan hanya ibu-ibu. Anak muda, kalangan milenial pun gandrung pada tanaman berkhasiat obat yang sudah terkenal di luar negeri tersebut. Manfaatnya bisa untuk mencegah diabetes dan tekanan darah tinggi.
Selama pandemi covid-19, orang kembali mencari tanaman yang dulunya pernah laris di pasar. Sebagian orang berburu tanaman yang semula dianggap biasa lantaran tumbuh liar di pekarangan rumah. Selama pembatasan sosial hingga work from home, orang memilih berkebun ketimbang ramai-ramai berkumpul hanya untuk ngerumpi.

Mengisi waktu dengan menanam bunga bisa menghilangkan kebosanan yang menyergap setiap saat. Tanaman yang dulunya dianggap biasa saja, kini paling dicari. Puring (Codiaeum variegatum) diburu kembali oleh pecinta tanaman. Demikian juga Kamboja Jepang. Tanaman hias itu tergolong laris di pasar bunga selama pandemi. Bahkan, keluarga kaktus pun laku. Kolektor tanaman hias memberikan harga sepadan pada jenis Philodendron Micans.
Monstera pun menemukan peminatnya. Tanaman yang populer dengan nama Janda Bolong itu melengkapi koleksi bunga taman di rumah. Sejumlah tanaman hits lainnya yang menghiasi pot-pot di halaman rumah diantaranya Hoya, Epiphyllum Chrysocardium, Cryptanthus Red, Calathea Cynthia, Calathea Black Lipstick, Begonia dan Crocodile Fern.
Bagi pecinta flora yang beraliran klasik, mereka memburu bunga tujuh rupa. Keperluannya bukan hanya untuk kesenangan, akan tetapi melengkapi tradisi ritual. Rupanya tren masyarakat ingin menggali filosofi ajaran tentang kehidupan dari leluhur di tengah masa pandemi. Tanaman bunga tujuh rupa yang laris itu diantaranya mawar bermahkota merah dan putih, cempaka, kantil, kenanga, melati, sedap malam dan melati gambir.
Bader, petani di sentra bunga Jalan Metro, Kota Batu, Jawa Timur, menyatakan permintaan tanaman mawar melonjak sejak dua bulan terakhir. Pedagang membeli tanaman mawar berbagai warna yang ditanam di polybag. Sekali pesan, 2 ribu sampai 3 ribu polybag per pekan. Konsumennya bukan hanya dari Jawa, tetapi merambah Sumatra, Kalimantan sampai Papua.