
Suatu sore yang cerah, Dawam, 40, duduk di teras depan rumahnya di Dusun Krajan, Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa itu sentra wisata petik jeruk terbesar di Jawa Timur.
Dawam baru saja membaca berita, wabah korona merebak. Selanjutnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan. Lalu semuanya ditutup, pintu masuk desa-desa pun diportal. Aktivitas transportasi dibatasi. Pasar terhenti, akhirnya daya beli masyarakat anjlok.
Dawam mengangguk-anggukkan kepala sembari tersenyum kecut. Kedua tangannya memijit kaki secara bergantian. Secangkir wedang kopi di sampingnya dibiarkan dingin. Maklum, bapak dua anak itu merasa sedikit capek usai memetik buah jeruk di lahan miliknya, tetapi tak ada pembeli.
Panen melimpah buah jeruk sudah di depan mata. Tapi, keranjang berisi buah kaya vitamin C itu tertata rapi dan menumpuk menunggu pembeli. Buah lainnya belum kelar dipanen, sebagian buah membusuk di pohon digerogoti hama lalat. Pasar yang lesu dan sepi terus mengusik pikirannya. Terbayang buah jeruk tak bakal membanjiri pasar domestik seperti sebelum pandemi. Kerugian akibat gagal panen pun mulai mengusiknya.
Namun, Dawam tak menyerah. Sembari menyeruput wedang kopi yang sudah dingin, ia merasa sedikit lega. Ada solusi, buah jeruk dijual dari rumah ke rumah. Ia memanfaatkan gadget android miliknya. Jari tangannya tak mau berhenti memasarkan buah jeruk meski harus berspekulasi. Sebagian lagi dijual di pinggir jalan sebisanya. Terpenting tidak merugi besar-besaran kendati harus bersaing dengan petani lain yang menerapkan cara serupa. Kondisi itu ia lakoni selama Maret 2020.

Saat itu, kebanyakan petani kelimpungan. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa dilakukan hanya menunggu pembeli yang tak kunjung datang sembari menyisihkan buah mulai layu. Para petani membiarkan buah jeruk membusuk di lahan.
Dawam menceritakan sempat ketar-ketir. Begitu juga petani lainnya pun demikian. Petani berpikir bakal gagal panen berimbas merugi ratusan juta. Selain hama lalat membuat buah rontok, wabah virus korona menyingkirkan pembeli kian jauh.
“Buah jeruk terasa pahit saat awal musim panen Maret,” kata Dawam membuka pembicaraan.
Untungnya kondisi itu hanya sebentar. Tak lama berselang, telepon selulernya berdering. Telepon masuk itu dari pedagang di Jakarta. Dawam langsung sigap menjawab. Dalam sesaat ia terdiam dan hanya bisa bilang, “Siap.” Dawam pun sumringah.
Rupanya, pedagang memberikan perintah. Panggilan tugas mengirim buah jeruk pun harus dilaksanakan, segera. Tak menunggu lama, ia langsung bergegas menuju kebun jeruk di depan rumahnya. Sejak April sampai Agustus, para petani tak henti memetik buah jeruk. Mereka memenuhi permintaan dari berbagai daerah.
“Sejak April, permintaan buah jeruk mulai meningkat,” tegasnya.

Panen Terakhir
Petani masih menikmati hasil panen selama masa pandemi covid-19. Permintaan jeruk lokal meningkat. Konsumen di Jakarta paling demen. Petani buah jeruk, Yohanes Hadi Winarto, mengatakan pasar mulai terbuka sejak lima bulan terakhir. Puncaknya Agustus. Di akhir musim panen, permintaan meningkat tapi pasokan jeruk mulai berkurang. Kendati demikian, petani merasa cukup lega. Panen April terasa manis, berbeda saat panen Maret.
Kini, permintaan kembali meningkat. Petani menikmati hasil panen lantaran harga buah jeruk cukup lumayan. Varietas jeruk siam atau petani menyebut siyem dijual Rp12 ribu per kg, jeruk batu keprok 55 Rp9 ribu per kg dan jeruk baby java Rp6.500 per kg di tingkat petani. Meski harganya tertinggi di antara varietas jeruk lainnya, jeruk siyem yang paling poluler. Cita rasa manisnya banyak diminati konsumen. Kulit tipis kehijauan, mulus mengkilat dan mudah dikupas begitu eksotis. Saat dibelah terlihat jelas segar menggoda. Manis siyem pun memikat pembeli, menemukan pasarnya di tengah pandemi.
Rezeki pun mengalir sejalan dengan meningkatnya permintaan. Setiap pedagang di desa setempat mengirim jeruk sekitar 8 ton per pekan atau meningkat 100% ketimbang sebelumnya hanya rata-rata 4 ton per pekan. Adapun Yohanes mengirim jeruk untuk memenuhi permintaan pedagang di Jakarta. Jeruk hasil panen dikirim dalam kemasan.
Dalam tata niaga jeruk, panen tidak hanya dinikmati pemilik lahan. Para buruh tani pun ketiban rezeki. Pertanian jeruk menyerap tenaga kerja dari warga setempat. Sejumlah warga turut menikmati musim panen. Mereka bekerja mulai tanam, perawatan, proses panen, angkut, mencuci jeruk sampai mengemas. Siharti dan Tuni, warga Dusun Krajan, Desa Selorejo, mengaku mendapat upah dari proses mencuci buah jeruk masing-masing Rp500 ribu per pekan. Pekerjaan sampingan itu bisa menambah pendapatan keluarga.