
Petugas menjelaskan berbagai komoditi rempah-rempah pada pengunjung. Foto-foto dalam acara Pekan Budaya Indonesia 2016 di Taman Krida Budaya, Kota Malang, Jawa Timur.
Berabad-abad nenek moyang bangsa Indonesia tidak membutuhkan kapal mesin dan kompas dalam mengekspor barang dagangan dari Pulau Jawa untuk sampai ke pulau Sumatra, Kalimantan, Indo-China hingga Madagaskar. Sekali berlayar, geladak kapal terisi penuh komoditas pertanian dan perkebunan dari hasil panen.
Para leluhur bangsa mengarungi laut membawa misi berdagang hasil bumi diantaranya beras dan rempah-rempah. Mereka tak pernah ragu-ragu dalam melangkah. Sebab, kegagalan bisa membawa konsekuensi mengerikan, yaitu pulang tanpa hasil. Pedagang lainnya, mendayung perahu menyusuri sungai menuju pelabuhan. Sesampai di pusat perdagangan, mereka ambil bagian. Bukan sekadar transaksi, tapi berkontribusi mengenalkan hasil bumi, bahasa, adat istiadat dan budaya.
Giles Milton, menulis Pulau Run, Magnet Rempah-Rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan. Milton menggambarkan betapa kaya rayanya penduduk di Pulau Run. Pulau itu tertera sangat besar dalam peta abad 17. Run paling dicari dan dibicarakan di dunia. Aroma khas dari tanaman itu menyeruak tercium beberapa mil jauhnya sejak sebelum kapal terhenti oleh karang-karang yang tajam. Menurut Giles Milton, para pelaut dan pedagang Eropa memburu buah yang oleh ahli botanis disebut Myristica fragrans. Warga lokal menyebutnya pala, sama seperti para pedagang Inggris mengenal buah eksotis berwarna kekuningan berdaging tebal tersebut.

Namun, pala tak mudah didapatkan. Mereka yang menginginkan lebih, harus berani mengarungi laut dan menghadapi serangan orang yang demen berperang. Sebelum orang Eropa sampai di pulau kaya rempah-rempah, para pedagang London biasanya membeli komoditas itu di Venesia. Sedangkan para pedagang Venesia kulakan rempah-rempah di Konstantinopel.
Pala yang sampai di pelabuhan pusat perdagangan dunia tersebut dari Samudra Hindia. Untuk sampai ke tempat itu dikabarkan amat sangat berbahaya. Orang asing langsung diserang ketika baru muncul di Kepulauan Banda. Karena itu orang Portugis memilih menunggu datangnya pala di Malaka ketimbang masuk pulau berbiaya mahal dengan resiko mati mengenaskan.
Pulau Run berada di Kepulauan Banda, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Pulau itu seluas 3 kilometer, lebarnya sekitar 1 kilometer. Riwayat pulau eksotis penghasil pala satu-satunya di Nusantara ini sungguh menakjubkan. Kisah heroik menyertai penduduk kepulauan tersebut.

Pulau itu pernah jadi medan perang dan persaingan bisnis yang sengit. Orang Portugis, Inggris dan Belanda bertaruh nyawa demi buah mirip kacang keriput tersebut. Pala dari Pulau Run sangat pantas diperebutkan lantaran menjadi primadona di Konstantinopel. Pada Abad Pertengahan, Konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki) merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa.
Saat itu, pala merupakan kemewahan tiada duanya. Saking mahalnya, segenggam pala dihargai dengan rumah beserta perabot ditambah tanah dan uang. Semula orang Portugis berusaha mendekati pulau kecil tersebut, tapi gagal memanen pala. Selanjutnya, pelaut Inggris berambisi masuk pulau sekaligus merebut pala. Namun, dominasi Inggris dipatahkan Belanda setelah perang beberapa tahun lamanya.
Inggris menguasai kembali Run setelah perang dengan Belanda tahun 1652-1654. Perang kedua negara tahun 1665-1667 diakhiri dengan perjanjian Breda, yakni pulau Run ditukar dengan Manhattan. Pulau seluas sekitar 59 kilometer persegi itu sekarang bernama New York, Amerika Serikat. Inggris yang menguasai Pulau Run menukarnya dengan Manhattan ke Belanda. Sejak saat itu, Run menjadi milik Belanda.