
Pembatik di Sanggar Batik Seng, Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto diambil sebelum masa Covid-19.
(Desa-In/Bagus Suryo)
Pengerjaan motif batif buah kesemek itu cepat kelar. Kain berukuran dua meter yang disampirkan di depan Siti Romlah perlahan tapi pasti penuh dengan warna. Ia membatik bersama Suindah, Tunik dan Khoirun Nisa.
Warga Desa Ternyang, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu tekun membatik lantaran permintaan sedang meningkat. Permintaan batik menyongsong Hari Batik Nasional pada 2 Oktober mendatang. Mereka telaten mencelupkan canting ke lilin. Goresan demi goresan memenuhi kain dasar putih.
Setelah proses itu, memasuki pewarnaan dengan menggodok kain. Tugas itu dikerjakan oleh sejumlah pembatik lainnya, yaitu Siti Khotimah, Herti, Nopi dan Ngadiah. Kain digodok untuk menghilangkan lilin. Semiarni, Farida, Ulfa, Wasilah dan Isnaeni menjemur kain pascaproses pewarnaan. Sedangkan Indah Nafisah yang mengentas kain batik tersebut.
Di rumah produksi batik tak jauh dari Bendungan Sutami, Kabupaten Malang, sekitar 20 orang rutin memproduksi batik. Ibu-ibu berusia 30-50 tahun warga desa itu sebagian besar mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam beberapa tahun belakangan, mereka berdaya dari menghasilkan karya. Usaha bersama batik buatan warga sudah banyak diminati konsumen. Bahkan mampu membendung kepergian Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk kembali bekerja di Malaysia, Taiwan dan Arab Saudi.
“Ibu-ibu pembatik ini sebagian mantan TKI,” kata Koordinator Pembatik Desa Ternyang, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indah Nafisah baru-baru ini.
Menurut Nafisah, mengajak ibu-ibu rumah tangga agar produktif itu tak mudah. Perlu waktu dan kesabaran. Mereka sulit dikumpulkan untuk urusan kerja sampingan. Maklum, ibu-ibu itu perempuan desa. Aktivitas utamanya bertani. Dari pagi sampai siang hari bersama suami di sawah. Perempuan lainnya sibuk mengurus anak di rumah. Ada juga yang jualan di pasar. Sedangkan yang mantan TKW memilih tak ke luar rumah alias berdiam diri di rumah atau justru jalan-jalan ke mall.

Perajin menjemur kain batik. Foto diambil sebelum masa Covid-19.
Getol Sosialisasi
Namun, Nafisah tak menyerah. Ia mengajak warga agar produktif. Pekerjaan sampingan bisa meningkatkan ekonomi keluarga. Sebab, perempuan harus mandiri. Hasilnya bisa untuk membantu suami dalam mencukupi kebutuhan dan sekolah anak. Saat pertemuan PKK dan pengajian, ia sosialisasi. Sejak dua tahun lalu, upaya penyadaran rutin dilakukan. Akhirnya menemui keberhasilan. Sejumlah ibu rumah tangga bersedia diajak usaha batik.
“Saya harus bersabar karena mereka minta diantar ke tempat pelatihan. Maklum, nama Desa Ternyang sesuai dengan karakter warganya. Konon nama Ternyang itu bermakna Yen ora diter, ora nyang (Kalau tidak diantar, maka tidak berangkat,” ujarnya.
Semula ada lima pembatik mencoba membuat motif sendiri. Hasil karya dijual ke pasar Rp150 ribu per potong. Tak disangka, animo konsumen cukup tinggi. Batik buatan warga Ternyang itu laku di pasaran.
Setelah batik pertama laku, batik-batik lainnya terserap pasar. Hal itu memantik semangat para pembatik lain di desa setempat. Bahkan, sejumlah TKW memutuskan tidak kembali ke luar negeri. Pasalnya, bekerja mandiri di desa ternyata lebih menguntungkan. Usaha batik yang mereka geluti lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga.

Perajin menjemur kain batik. Foto diambil sebelum masa Covid-19.
Pelatihan Batik
Para pembatik yang sudah mahir mengajari warga lainnya. Warga juga mendapat kepelatihan dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelatihan Kerja Singosari, Malang. Pelatihan program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja rutin digelar saban tahun.
“Setelah mengikuti kepelatihan, batik yang kami produksi semakin baik dan berkualitas, bisa laku Rp250 ribu per potong,” ungkapnya.
Kini, di industri rumahan itu, para ibu rumah tangga mampu memproduksi 40 batik per pekan. Produksi belum termasuk batik yang dihasilkan sendiri di rumah masing-masing warga. Mereka menerima banyak pesanan setelah batik Ternyang kian populer.
Tokoh Masyarakat Desa Ternyang, Abdul Haris, mengatakan usaha bersama batik terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Awalnya bermodal Rp5 juta, sekarang sudah berkembang menjadi puluhan juta. Hasil batik para perempuan desa pun membantu suami mereka dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Sementara itu, Kepala Seksi Pelatihan dan Sertifikasi UPT Pelatihan Kerja Singosari, Provinsi Jawa Timur, Sentot Fajar mengatakan pelatihan batik merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja.
Hasil yang diharapkan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) lebih berkualitas, mampu bersaing di pasar global. Menurut Sentot, ketika perempuan lebih berdaya, perekonomian desa pun semakin maju. Tumbuhnya ekonomi desa juga berimbas bisa membendung tingginya laju urbanisasi dan migrasi.
Selain batik, kata Sentot, warga desa juga dibekali keterampilan servis ponsel, gulung dinamo, finising mebel dan membuat aneka makanan olahan.
Sekarang, kesadaran dan kapasitas SDM warga setempat semakin meningkatkan. Desa Ternyang pun terus bangkit dan berdaya sekaligus melunturkan anggapan masyarakatnya selama ini “Yen ora diter, ora nyang”.