
Kepala Desa Tumpukrenteng, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Helmiawan Khodidi (kanan) membantu mengemas keripik pisang buatan warga desa setempat, beberapa waktu lalu. Foto-foto diambil sebelum masa Covid-19.
(Desa-In/Bagus Suryo)
Kepala Desa Tumpukrenteng, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Helmiawan Khodidi bersemangat memotivasi warganya untuk usaha mandiri. Saban hari ia mengunjungi warga untuk berdialog, mendengar masukan dan memberikan saran-saran.
Saat hari belum begitu siang, Khodidi mampir di industri keripik pisang. Di tempat usaha itu, sejumlah warga sedang sibuk bekerja mulai mengupas dan mencuci buah pisang. Pekerja lainnya mengiris tipis pisang untuk ditempatkan pada wadah tersendiri. Yang lainnya menggoreng dan mengepak keripik. Keripik buatan warga di Tumpukrenteng terkenal lebih renyah dan gurihnya khas. Yang membuat berbeda itu pada bahan baku jenis pisang.
“Keripik ini dari pisang rojo nongko dan pisang kepok,” tegasnya.
Khodidi menyaksikan lansung proses produksi keripik. Sriamah, pekerja industri rumahan keripik di tempat itu, cekatan mengaduk potongan tipis pisang. Tangan kirinya memegang kuat pinggir wajan berukuran sedang. Ia tanpa henti mengaduk, sesekali berbincang santai dengan Siti Fatimah dan Sri yang melakukan aktivitas serupa.
Sembari duduk di kursi kayu, ketiganya mencampurkan cairan gula pasir pada irisan tipis pisang hingga merata. Selanjutnya, memisahkan ke wadah baskom untuk siap digoreng. Adapun Syamsul Arifin bertugas menggoreng hingga jadi keripik pisang. Setelah keripik matang, langsung ditaruh di meja samping penggorengan.
Afida bergegas mendinginkan keripik dengan bantuan kipas angin. Tangan perempuan itu cekatan, mengaduk-aduk keripik hingga dinginnya merata. Setelah dingin, keripik-keripik tersebut langsung diangkut oleh Husnah dan Munifah ke ruang depan rumah. Ketiganya mengemas dalam wadah plastik seberat 1 kg per kemasan.

Syamsul Arifin menggoreng keripik pisang. Foto diambil sebelum masa Covid-19.
Pilih Mandiri
Syamsul adalah Sarjana Administrasi Bisnis/Administrasi Niaga Universitas Merdeka Malang. Pria itu anak dari Sumarni, mantan TKI. Sang ibu pernah bekerja enam tahun di Hongkong. Namun, akhirnya memutuskan mengembangkan usaha keripik pisang di desa. Sumarni berpesan agar anaknya tidak pergi ke kota apalagi ke luar negeri hanya untuk mencari pekerjaan.
Di pelosok desa pinggir Malang, mereka berdaya secara ekonomi. Pemuda setempat mulai sadar, membangun desa jauh lebih baik ketimbang bekerja di kota apalagi di luar negeri. sesulit apa pun memulai usaha di desa sendiri hasinya masih lumayan ketimbang terlunta-lunta hingga “Negeri Jiran”.
Menurut Syamsul, memang awalnya tidak mudah dalam merintis usaha. Ia menceritakan perlu kerja keras terutama saat menawarkan produk. Ia harus mendatangi warung-warung. Itu pun tak langsung diterima. Konsumen perlu mencoba rasa keripik. Bila cocok, baru bisa dibilang laku. Seiring berjalannya waktu, Keripik buatan Syamsul berkembang merambah supermarket di Surabaya. Distributor camilan pun mulai kepincut produk anak TKI ini.
“Kami merintis dari bawah. Sering jatuh bangun. Bahkan, menawarkan keripik pisang sering ditolak, diremehkan dan tak digubris calon pembeli. Tapi saya tidak menyerah,” katanya.
Syamsul yang pernah bekerja sebagai penjaga toko namun akhirnya memutuskan berusaha mandiri itu tergerak oleh semangat untuk maju. Saat mengawali usaha, lanjutnya, memang banyak ditolak. Akan tetapi tidak putus asa. Getirnya jatuh bangun pun sering ia rasakan.
“Pemuda desa banyak yang berpandangan, lebih baik punya usaha sendiri kendati kecil daripada menjadi buruh,” ujarnya.

Seorang pekerja mengemas keripik pisang. Foto diambil sebelum masa Covid-19
Berbagi Sukses
Kini produk keripik pisang Desa Tumpukrenteng banjir pesanan. Ia sampai kesulitan memenuhi banyaknya permintaan terutama selama Ramadan, Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Omzet usaha keripik yang dijual Rp15 ribu per kg dengan kapasitas produksi 2 ton mencapai Rp50 juta. Keuntungannya bisa mencapai 30%.
“Kami terus berupaya mengembangkan kapasitas, banyak permintaan tidak terlayani. Ada order, tapi hanya bisa melayani separo,” tuturnya.
Syamsul tak ingin sukses sendiri. Ia mengajari dan membina warga yang termotivasi untuk mandiri. Karenanya ia getol mengajak pemuda dan warga lainnya agar mengikuti jejaknya.
“Kalau ada yang mau, kami terbuka. Mereka yang membutuhkan bimbingan, saya siap ngajari.”
Adapun kendala yang dihadapi UMKM keripik pisang selama ini terkait mahalnya bahan bakar. Itu sebabnya perajin menggunakan kayu lantaran masih dinilai lebih murah ketimbang gas elpiji. Ia membeli kayu hanya Rp1,650 juta, bisa bertahan 2 kali produksi atau selama dua pekan mampu memproduksi 2 ton. Sedangkan menggunakan elpiji butuh Rp6,6 juta. Kalaupun pakai solar juga ribet diperizinan.Gutentor Advanced Text
Cabai Bubuk
Selain perajin keripik pisang, pemuda yang sukses juga dirasakan oleh Anjuri. Ia memiliki usaha cabai bubuk, pasarnya di Surabaya. Cabai segar yang dikeringkan selanjutnya digiling halus untuk memenuhi banyaknya permintaan dari home industri makanan.
“Saya memproduksi bumbu tabur pedas alami. Mampu produksi lima ton cabai. Saya termotivasi bekerja di desa sendiri,” kata Anjuri.
Mantan TKI di Malaysia itu memilih usaha sendiri ketimbang mengais ringgit di “Negeri Jiran”. Menurut Anjuri, tantangan perajin cabai bubuk pada harga cabai yang kerap tidak stabil. Perajin menilai, harga cabai seharusnya Rp20 ribu per kg agar UMKM bisa berbagi hasil.
Sejauh ini pemerintah desa memberikan pembinaan. Para perajin dan pelaku UMKM itu dibekali pelatihan dan permodalan. Bahkan juga mengusahakan bantuan peralatan mesin.
Kades Tumpukrenteng Helmiawan Khodidi menyatakan terus mengembangkan potensi desa agar warga bisa mandiri. Pelaku UMKM dihimpun dalam paguyuban sesuai produknya yaitu keripik pisang, samiler, kue dan bunga melati. Perangkat desa membantu mencarikan pasar.
“Pasar merambah Surabaya, luar Jawa dan luar negeri. Dari sisi pemasaran tidak kesulitan. Bahan baku dipenuhi sendiri. Ketahanan pangan sudah dikembangkan diantaranya memanfaatkan lahan kosong agar menjadi produktif,” ungkapnya.
Setelah mengembangkan UMKM dan pertanian, jumlah TKI di desa itu terus menurun. Dari sebelumnya 500 orang, sekarang hanya sekitar 200 an yang masih tergiur menjadi TKI di Hongkong, Arab Saudi, Singapura, Taiwan, Jepang, Perancis, Inggris.