
Program ketahanan pangan unggulan sebagai lumbung pangan baru itu disebut food estate. Perusahaan perkebunan dan pertanian berbasis pangan strategis tersebut berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Pemerintah sudah merancang dengan sangat serius. Pengelolanya bisa menerapkan sejumlah pola ditangani oleh badan, BUMN atau skema lain berupa investasi. Di lahan bekas proyek gambut mulai digarap optimal menjadi salah satu program strategis nasional 2020-2024.
Program itu pula sebagai solusi memenuhi kebutuhan pangan di tengah masa pandemi covid-19. Memang, stok pangan nasional masih bisa bertahan selama periode Maret-Desember 2020. Stok beras di Bulog juga masih tersedia. Sebagian petani pun terus menanam untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Namun, para pakar pangan memprediksi, fase krisis bakal dimulai pada awal Januari 2021. Bahkan, organisasi pangan dunia (FAO) mengingatkan, fase krisis masa pandemi bisa berlangsung selama 3 tahun ke depan. Itu pun bila pandemi cepat tertangani.
Dalam situasi normal sebelum masa pandemi, setiap memasuki ramadan, hari raya dan tahun baru, misalnya, selalu terjadi gejolak harga. Pasokan yang tersendat kerap memicu kenaikan harga di pasar. Belum lagi bila petani menyimpan hasil panen untuk mengamankan pangan keluarga masing-masing.
Bisa jadi petani salah tanam yang bukan produk dibutuhkan pasar. Atau, mereka sengaja menghentikan tanam mengingat selama masa pandemi yang secara logika harga pangan bisa lebih menguntungkan, kenyataannya justru jeblok. Petani banyak yang mengeluh. Akhirnya, mereka beralih tanam, menanam bukan tanaman pangan selama periode kemarau untuk memenuhi tren pasar.
Salah satu contohnya petani di Kota Batu, Jawa Timur. Saat harga sayur mayur ambles, mereka membiarkan tomat dan cabai siap panen layu di pohon. Sebab, biaya operasional panen tak sebanding dengan hasil penjualan. Selanjutnya, petani memutuskan menanam tanaman hias untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sedang hits setelah pedagang bunga krisan dan bunga mawar berteriak minta pasokan.
Sebenarnya, ketersediaan lahan untuk produksi tanaman pangan masih membentang bila pemerintah pusat sampai daerah serius menggarap, membantu dan mendampingi petani. Akan tetapi upaya itu belum optimal dilakukan.
Kebijakan yang ada juga belum sepenuhnya mendukung para petani. Tidak ada subsidi angkut dan harga, belum ada kepastian penyerapan hasil panen, serta belum ada pemda yang berani memberikan keringanan pajak bumi dan bangunan kendati janji itu sudah digaungkan sejak lama. Justru saat memulai tanam musim kemarau, pupuk subsidi langka.
Akhirnya, kebanyakan petani membiarkan lahannya kosong sembari menunggu musim hujan tiba. Petani yang tidak melanjutkan tanam bisa jadi kekurangan modal kerja atau berhitung soal harga. Dampak dan resiko kondisi itu dari sisi pasokan pangan ke depan tentu sudah bisa dihitung mulai sekarang. Pasokan pangan bisa berkurang.

Dalam kondisi itu, sepatutnya pemerintah hadir agar petani tidak disergap tengkulak. Setidaknya, petani dimotivasi dengan memberikan beragam kemudahan. Pemda sudah seharusnya mendata potensi lahan yang bisa dioptimalkan untuk digarap.
Bila perlu melibatkan pengusaha dan perguruan tinggi untuk membantu tata kelola dan tata niaga di level desa. Pertanian dan peternakan yang terintegrasi dengan pasar bisa menjadi salah satu solusi. Food estate itu konsep yang seharusnya bisa dikembangkan di level desa. Sebab, semua potensi ada di perdesaan mulai tanah atau lahan, infrastruktur, tenaga kerja sampai pasar. Semua desa bisa didesain sebagai produsen pangan berbasis food estate. Leading sector-nya BUM-Des berkolaborasi dengan pengusaha. Persoalannya hanya niat baik dan kemauan stakeholder untuk mewujudkan.
Sedangkan dalam jangka waktu enam bulan ke depan, food estate yang disiapkan pemerintah baru terlihat kemajuannya hadir untuk kemandirian pangan sekaligus mengatasi krisis. Dalam situasi krisis, pasokan pangan diharapkan bisa disuplai dari lumbung pangan modern tersebut. Bukan hanya beras, tapi jagung, ubi kayu, ubi jalar dan komoditi pangan lainnya pun dimaksimalkan, seluruhnya digarap sangat serius untuk mencapai swasembada.
Prospek pangan yang dikembangkan tersebut memiliki pasar potensial karena sepanjang zaman dibutuhkan masyarakat. Sebab, penduduk Indonesia lazimnya tidak mengonsumsi roti, daging dan keju sebagai makanan pokok. Beras masih menjadi yang utama. Singkong dan ubi jalar merupakan bahan pangan yang secara kultural tak mudah ditinggalkan.
Dalam konteks ini kehadiran food estate sangat dinanti keberhasilannya mengingat di era pemerintahan sebelum Jokowi pernah merancang program serupa untuk menggaungkan swasembada pangan. Tentu, sekarang semua pihak optimistis program ini menuai kemajuan yang berarti.
Menurut Presiden Joko Widodo, food estate dibangun untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Program itu strategis bagi pertahanan negara. Karena itu Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab, kepala komando pembangunan proyek. Kendati leading sector berada di Kemenhan, prosesnya melibatkan Kementan sebagai tim ahli pertanian dan Kementerian PUPR. Gubernur dan Bupati juga aktif memantau pelaksanaannya.
Seluruh potensi di bekas lahan gambut itu dioptimalkan dari hulu sampai hilir. Lahan yang sudah disiapkan di Kalteng seluas 178 ribu hektare. Lahan digarap bertahap. Nantinya bakal merambah Sumatra Utara. Tahap awal program menggarap 30 ribu ha, lalu meluas 148 ribu ha. Padi menjadi andalannya untuk mengisi logistik nasional. Yang artinya pemerintah ingin memperkuat pangan strategis. Tujuannya agar tidak terus-terusan impor. Dalam waktu dekat berusaha mengatasi ancaman krisis pangan.
Program ini sangat vital untuk memulai langkah cepat kemandirian pangan. Pasalnya, selama pandemi covid-19, negara pengekspor pangan dunia berusaha mengamankan pangan negara masing-masing. Indonesia tak ingin ketinggalan, untuk itu melakukan percepatan agar problem pangan ke depan teratasi. Semua itu tentu membutuhkan dukungan semua pihak agar bergotong royong mewujudkan kemandirian pangan.